Choipan Tjhia: Cita Rasa Khas Pontianak
AKULINER.COM – Jika Anda berkunjung ke Pontianak, Kalimantan Barat, jangan lewatkan untuk mencicipi salah satu jajanan legendaris yang sangat digemari masyarakat lokal: Choipan Tjhia. Camilan khas Tionghoa ini bukan hanya menggoda dari segi rasa, tetapi juga menyimpan sejarah panjang yang melekat erat dengan budaya lokal.
Asal-usul dan Sejarah
Choipan, atau biasa juga disebut chai kue oleh masyarakat Tionghoa, adalah makanan tradisional yang berasal dari pengaruh kuliner Hakka. Di Pontianak, salah satu nama yang paling dikenal dalam dunia choipan adalah Choipan Tjhia — sebuah usaha keluarga yang sudah berdiri sejak puluhan tahun dan berhasil mempertahankan cita rasa autentik dari generasi ke generasi.
Nama “Tjhia” sendiri berasal dari nama keluarga pemilik yang mempopulerkan choipan ini sebagai makanan jajanan kaki lima yang kini telah naik kelas menjadi ikon kuliner daerah.
Ciri Khas Choipan Tjhia
Yang membedakan Choipan Tjhia dengan choipan lainnya terletak pada tekstur kulit dan isiannya. Kulit choipannya tipis, lembut, namun tetap kenyal — hasil dari racikan tepung beras dan tapioka dengan takaran presisi. Isian choipan yang paling umum adalah:
- Bengkuang cincang (Lobak)
- Talas parut
- Kacang tolo
- Rebung muda
Setelah dikukus hingga matang, choipan disajikan dengan taburan bawang putih goreng dan sambal khas buatan rumah yang pedas-gurih, memberikan sensasi rasa yang menggoda.
Lokasi dan Daya Tarik
Choipan Tjhia dapat ditemukan di Jalan Siam, Pontianak, dan selalu dipadati pengunjung, terutama pada sore hingga malam hari. Banyak pelanggan setia yang rela antre demi mendapatkan sepiring choipan segar yang baru diangkat dari kukusan.
Beberapa daya tarik utamanya antara lain:
- Proses pembuatan yang masih tradisional dan terbuka bagi pengunjung untuk disaksikan.
- Harga terjangkau namun kualitas premium.
- Rasa konsisten dari dulu hingga kini, menjadi favorit warga lokal dan wisatawan.
Warisan Kuliner yang Patut Dijaga
Bukan sekadar jajanan pasar biasa. Ia adalah bagian dari identitas budaya masyarakat Pontianak, menjadi simbol kerukunan antar etnis, terutama Melayu dan Tionghoa, yang hidup berdampingan.
Usaha ini juga membuktikan bahwa warisan kuliner tradisional bisa terus eksis di tengah modernisasi, selama tetap menjaga kualitas, rasa, dan nilai historisnya.